Wartainsumsel.com | Palembang, – Sri M. Tuti, seorang investor yang melaporkanTuti Apriyani selaku Direktur Cabang PT Kartika EkaYasa yang awalnya yang memenangkan C1 Dengan Kontrak No.303/05/SpP/SDAIL /DPURRI /2023 dari proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) milik Pemkot Palembang, meminta agar segera ada penetapan tersangka atas laporannya yang dinilai jalan di tempat, Senin (3/11/2025).
Laporan tersebut dibuat di Polrestabes Palembang. Tak hanya satu dugaan tindak pidana, namun terdapat sejumlah laporan mulai dari dugaan penggelapan dalam jabatan atas pengalihan rekening perusahaan kontraktor proyek IPAL, hingga pencurian berkas dan aset.
Bukan tanpa alasan, laporan tersebut dibuat setelah terjadi pemutusan kontrak kerja secara sepihak yang membuatnya merugi hingga Rp7 miliar.
Penasihat hukum pelapor, Bagoes Edy Gunawan, SH., MH. didampingi Raden Ayu Widya Sari, SH., MH., dari kantor Hukum Nazarudin SH dan rekanan dalam keterangan resminya meminta penyidik dapat segera menyerahkan berkas penyidikan kasus klien mereka ke kejaksaan.
“SPDP sudah kami terima, tapi berkas belum dikirim. Bahkan para terlapor sudah diperiksa, kenapa tidak ditindaklanjuti,” ucapnya.
Dalam kasus ini, diungkap ada empat Laporan dengan 6 nama yang dilaporkan, di antaranya Tuti Apriyani, selaku Direktur PT Kartika Ekayasa pelaksana proyek IPAL, lalu Alfatan selaku Project Manager dari PT Kartika Ekayasa. Keduanya dilaporkan atas dugaan penggelapan dalam jabatan dan pencurian ,Sisil dan Syarif degan pasal pencurian berkas dan peralatan logistic
Kemudian satu oknum Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Dinas PUPR Palembang, Ade Abdillah, dilaporkan atas pencurian dan penyelahan wewenang jabatan , dan M Aripin Sebagai oknum indikasi advokat
“Kalau tidak ada tindak lanjut dari penyidik, kami akan mengambil langka melaporkan ini ke Mabes Polri,” tegas Bagoes.
Seperti diketahui, pada bulan Januari 2024, PT Kartika Ekayasa telah mendapatkan kontrak dengan Dinas PUPR berupa kegiatan pembangunan jaringan perpipaan air limbah dari Proyek IPAL dengan nilai Rp49,3 miliar.
Namun karena mengalami kesulitan dana pihak Tuti Apriyani selaku , Direktur Cabang PT Kartika Ekayasa, mengajak M. Alnando, SH., anak pelapor, untuk bergabung dengan sistem Joint Operation dengan plafon Rp10 miliar.
Proyek itu belum sempat berjalan dan melaksanakan pekerjaan dan bahkan telah mendapatkan surat peringatan I dan II oleh terlapor yang menjabat sebagai PPK Dinas PUPR.
Karena kesulitan dana, meskipun sudah mengambil cassie pada Bank Sumsel Babel Cabang Pembantu Plaju sebesar Rp8 miliar (dan telah dicairkan Rp 4 miliar), disepakati proyek itu diambil alih pelapor dengan pengembalian uang sebesar Rp9,5 miliar ditambah bunga bank dari cassie yang telah dicairkan.
“Perjanjian terlampir dan disepakati anak saya, M. Alnando, yang masuk ke struktur PT Kartika Ekayasa sebagai Wakil Direktur Cabang, dan akan membuat rekening bersama. Setiap pencairan uang dari PT Kartika Ekayasa harus diketahui bersama dan ditandatangani oleh direktur cabang dan wakil direktur,” jelas Sri M. Tuti.
Pengerjaan proyek tersebut sampai ke termin IV dengan progres pekerjaan 53%, namun muncul masalah saat pelapor mengajukan termin ke V di awal Mei dengan progres sekitar 61%.
Terlapor PPK, Ade Abdillah, meminta bertemu dengan pelapor dan menyampaikan bahwa pengajuan termin ke V dengan progres 66% bisa dilakukan dengan syarat dirinya mendapat dana Rp2 miliar untuk membantu dan mengontrol pembayaran ke vendor demi percepatan progres pekerjaan.
“Saya menyetujui karena saya juga ingin pekerjaan ini cepat selesai sesuai target,” ujar Sri.
Namun dalam pertemuan itu, Sri sempat menanyakan kepada Fatan, selaku Project Manager PT Kartika Ekayasa, terkait stok manhole yang kosong di workshop.
“Terlapor Ade terlihat kaget. Setelah itu dia mengirim pesan WA kepada saya, ‘besok akan turun ke lapangan sebelum berkas tagihan dijalankan’. Saya jawab, silakan,” katanya.
Setelah dicek, Sri mendapati ada pemasangan pipa sekitar 300 meter yang belum terpasang manhole, dan oknum PPK tersebut tidak mau memasukkan item itu ke dalam bobot pekerjaan. Tanpa konfirmasi, ia mengeluarkan SCM1 karena ada deviasi 11% akibat bobot pipa yang tidak terhitung.
Beberapa hari kemudian, Sri mendapatkan informasi dari vendor pembuat manhole bahwa stok manhole tersebut dialihkan dan digunakan oleh PT Galaksi, pelaksana pekerjaan C1H dan I, di mana Ade Abdillah juga menjabat sebagai PPK kegiatan tersebut, tanpa izin dari Sri selaku pemilik manhole.
Dari situ timbul permasalahan antara pelaksana PT Kartika Ekayasa dan pihak PPK. Ade Abdillah disebut meminta Tuti Apriyani untuk mengambil alih pelaksanaan pekerjaan tanpa melibatkan pelapor lagi.
“Tuti Apriyani menyetujuinya dan mencairkan kembali cassie di Bank Sumsel Babel Cabang Pembantu Plaju tanpa memberi tahu saya sebagai investor,” ujarnya.
Sri juga mengungkapkan bahwa pihak vendor pengadaan pipa telah menerima pembayaran sisa hutang dari rekening PT Kartika Ekayasa.
“Bahkan vendor pemasangan pipa jacking, yaitu PT Maranti, juga sudah dihubungi oleh Ade untuk melakukan pembayaran sisa termin. Menurut keterangan kuasa hukum Tuti Apriyani, setelah SCMI, Ade mendesak Tuti dan menghubungi pihak PT Kartika Ekayasa pusat, membuat cerita bohong seolah saya tidak mengeluarkan modal sedikit pun, dan ingin proyek ini diputus kontrak,” jelasnya.
Faktanya, Sri telah mengeluarkan modal awal hingga Rp7 miliar dan jaminan uang muka menggunakan agunan Sri senilai sekitar Rp10 miliar.
Terlapor Tuti Apriyani juga disebut mengajukan adendum kontrak untuk mengubah nomor rekening dalam kontrak, dan disetujui oleh PPK tanpa sepengetahuan Sri.
“Tuti Apriyani juga melakukan penagihan termin ke lima atas progres atau kemajuan fisik yang kami kerjakan, dan uangnya masuk ke rekening baru PT Kartika Ekayasa. Uang itu kemudian diambil pihak Tuti Apriyani, sehingga modal saya sebesar kurang lebih Rp7 miliar tidak dikembalikan,” tegas Sri.
Akibat kejadian ini, Sri mengaku mengalami kerugian hingga Rp7 miliar dan berharap pihak kepolisian segera menuntaskan kasus tersebut.












